Jejak Digital Wakaf
Jejak
digital. Istilah yang saat ini sudah tidak asing lagi di telinga kita.
Udara sebagai medium rambat kini semakin sibuk sejak jaringan internet
4G masuk ke Indonesia. Informasi apa saja dapat diakses lewat internet
hampir diseluruh daerah. Termasuk informasi mengenai wakaf. Sebagai
generasi 90-an, saya merasakan peralihan teknologi internet dan sangat
terpengaruh tingkat literasinya atas ketersediaan informasi di dunia
maya alias jejak digital (digital footprint) dari suatu informasi yang mau saya cari dan dalami.
Secara
subjektif, saya berkesimpulan bahwa pengetahuan saya tentang wakaf
sangat minim dan ketersediaan informasi mengenai wakaf di internet juga
tidak sebagus jejak digital zakat. Untuk itu saya mencoba membuktikannya
dengan mengecek dua kata kunci, yaitu wakaf vs zakat dan Baznas (Badan
Amil Zakat Nasional) vs BWI (Badan Wakaf Indonesia) dengan alat bantu
Google Trends. Begini hasilnya:
![]() |
Komparasi kata kunci zakat (biru) dengan wakaf (merah) lima tahun terakhir (2014-2019) |
Pertama
saya mencoba mengkomparasikan jejak digital mana yang paling banyak
beredar di internet baik itu berupa tulisan, gambar dan video yang di
akses lewat mesin pencari Google lima tahun terakhir. Hasilnya kata
kunci zakat (biru) jauh lebih banyak di cari dan tersedia ketimbang
wakaf. Dilihat dari grafik juga kata kunci wakaf stabil dan tidak ada
peningkatan secara signifikan.
Tidak
puas dengan hasil diatas, saya mencari kata kunci lain, yaitu BAZNAS
(Badan Amil Zakat Nasional) dan BWI (Badan Wakaf Indonesia) sebagai
lembaga yang menaungi kedua aktifitas filantropi Islam. Hasilnya adalah:
![]() |
Komparasi kata kunci BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) - (biru) dan BWI (Badan Wakaf Indonesia) - (merah) |
Kedua,
hasil komparasi kata kunci BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan BWI
(Badan Wakaf Indonesia) juga menunjukkan BAZNAS jauh lebih banyak dicari
lewat mesin pencari Google dan paling banyak tersedia jejak
digitalnya.
Tidak
cukup dengan Google Trends, saya mencoba riset terakhir, yaitu mencari
jumlah artikel yang tersedia di mesin pencari Google dengan kata kunci
zakat dan wakaf. Hasilnya adalah:
![]() |
Komparasi jumlah artikel dengan mesin pencari Google dengan kata kunci wakaf vs zakat |
Jejak
digital yang berbicara tentang wakaf sebanyak 7.360.000 hasil pencarian
dan zakat sebanyak 77.200.000 hasil pencarian, sepuluh kali lipat lebih
banyak daripada wakaf. Melihat tiga fakta empiris diatas, dugaan saya
diawal terkonfirmasi benar bahwa Wakaf tidak populer di masyarakat
karena sumber informasi atau jejak digitalnya jauh dari kata memadai.
Wajar saja literasi masyarakat tentang wakaf sangat minim sehingga
berdampak langsung pada penerimaan wakaf oleh nazhir-nazhir wakaf yang
telah tersertifikasi oleh BWI. Contoh nyatanya adalah jika masyarakat
ditanya jumlah Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS) yang ada di
Indonesia dan menerima zakat, maka dengan mudah masyarakat menjawab
dengan cara mencari di mesin pencari Google. Tidak seperti ketika
masyarakat ditanya ada berapa jumlah lembaga yang menaungi nazhir yang
ada di Indonesia ?. Sulit menjawabnya.
Platform Digital Berwakaf dan Mencari Tahu Tentang Wakaf
Tidak
ada kata terlambat. Pelaku perwakafan di Indonesia sudah harus
memikirkan bagaimana caranya agar jejak digital tentang wakaf di
internet dapat meningkat secara signifikan sehingga dapat meningkatkan
literasi wakaf masyarakat yang akan berdampak langsung pada jumlah
penerimaan wakaf. Harapan itu sudah saya lihat dari BIMAS ISLAM Kementrian Agama dan event Festival Literasi Zakat dan Wakaf 2019 yang sudah mulai aktif memproduksi konten digital tentang wakaf.
Tapi itu saja tentu belum cukup. Harus ada One Map Policy dari
otoritas terkait tentang rencana narasi digital tentang wakaf. Ada satu
teori Pemasaran Digital yang mungkin bisa jadi pertimbangan para
pemangku kebijakan dalam menyusun One Map Policy tentang narasi digital wakaf. Nama teori tersebut adalah AIDA (Awareness, Interest, Desire, Action).
Konsep AIDA (Awareness, Interest, Desire, Action) dapat
diterapkan guna meningkatkan jejak digital wakaf. Dengan meningkatnya
jejak digital maka keinginan masyarakat berwakaf juga akan meningkat.
Ketika peningkatan itu terjadi maka platform digital dapat digunakan (website atau apps) agar memudahkan masyarakat untuk berwakaf tanpa menyalahi rukun-rukun wakaf itu sendiri.
Saya
tentu bisa membayangkan kemudahan yang akan didapat calon wakif jika
para nazhir mau meningkatkan jejak digitalnya dan menyediakan platform wakaf
digital. Sebelum menentukan akan menjadi wakif, tentu masyarakat akan
mencari tahu dulu tentang wakaf, nazhir wakaf, dst di mesin pencari
Google. Keputusan masyarakat akan menjadi wakif atau tidak tentu sangat
ditentukan dengan ketersediaan informasi yang memadai dan berkualitas
tentang wakaf di internet. Sehingga wakaf dan zakat sebagai filantropi
Islam dapat membangun umat dan memajukan bangsa.
Jadi
bukan tidak mungkin nanti jejak digital wakaf akan menyamai bahkan
mengalahkan jejak digital zakat yang sudah lebih dulu berada di angka
mapan sebagai filantropi Islam dalam mengentaskan kemiskinan dan
menyalurkan kelebihan harta pada orang dan cara yang tepat.
Optimalisasi Jejak Digital Wakaf di Indonesia
Reviewed by katamahdi
on
October 20, 2019
Rating:

3 comments:
Bagus tulisannya disertai fakta dan bukti. Dan memang harus diakui wakaf belum sepopuler zakat. Harus ada langkah konkret untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap wakaf. Efeknya bisa domino, dari tahu menjadi tertarik, kemudian aksi nyata untuk ikut berwakaf. Bahkan jujur saya kalau ditanya beda zakat dan wakaf, saya juga masih harus belajar lagi. Good luck buat kompetisinya.
mdhn2 aja bnyk yg melirik untuk mendevlope APP zakat n wakaf, sebagai bentuk memudahkan dan syiar agama.... ajib tulisannya
Tenyata sekarang Wakaf maupun Zakat lebih mudah ya, apalagi sekaranga tersedia aplikasinya
Berkomentarlah dengan baik dan bijak